“Makalah
Sejarah Perjalanan Pancasila”
Kelompok : 4
Anggota : 1. Muhammad Choirul Muna
2. Elyas Dwi Irawan
3.Gany Harya Guna
4. Muhamad Faizal
5.Sigit Sulistio
DAFTAR
ISI
Halaman Sampul………………………………………………………………………….1
Daftar Isi………………………………………………………………………………….2
BAB 1 PENDAHULUAN
A.Latar Belakang…………………………………………………………………3
B.Rumusan Masalah………………………………………………………………3
BAB 2 PEMBAHASAN
A.Sejarah Perjalanan
Pancasila……………………………………………………4
>Pancasila Pra Kemerdekaan……………………….…………………….5
>Pancasila
Era Kemerdekaan……………………….…………………….7
>Pancasila Era Orde Lama……………………………………………….9
>Pancasila
Era Orde Baru…………………………………………………10
>Pancasila
Era Reformasi…………………………………………………12
BAB
3 PENUTUP
A.
Kesimpulan……………………………………………………………………14
B.
Kritik
Dan Saran………………………………………………………………15
C.
Daftar
Pustaka…………………………………………………………………15
BAB
1
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pancasila merupakan
dasar Negara Indonesia yang merupakan karunia terbesar bagi rakyat Indonesia.
Pancasila merupakan cita-cita yang harus dicapai oleh bangsa Indonesia, karena
cita-cita tersebut juga telah tercantum didalam UUD 1945.
Pancasila merupakan
salah satu faktor terpenting bagi
terbentuknya Negara kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada yang bisa memecah
belah Indonesia karena pancasila merupakan alat pemersatu bangsa yang utuh dan
sudah ada sejak masa kerajaan di Indonesia yang kemudian di munculkan kembali
oleh para pemimpin bangsa.
Tanpa disadari
pancasila mempunyai sila-sila yang sangat berharga bagi rakyat Indonesia dan harus diusahakan untuk diwujudkan dalam
kehidupan bermasyarakat dengan penuh penghayatan dan penuh tanggung jawab.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah sejarah
perjalanan pancasila ?
BAB
2
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Perjalanan Pancasila
1. Pada
kerajaan Kutai, masyarakat Kutai merupakan pembuka zaman sejarah Indonesia
untuk pertama kali, karena telah menampilkan nilai
sosial politik, dan Ketuhanan dalam
bentuk kerajaan, kenduri dan sedekah kepada para Brahmana.
2.Perkembangan
kerajaan Sriwijaya oleh Mr. Muhammad Yamin disebut sebagai Negara Indonesia
Pertama dengan dasar kedatuan, itu dapat ditemukan nilai-nilai Pancasila
material yang paling berkaitan satu sama lain, seperti nilai persatuan yang
tidak terpisahkan dengan nilai ke-Tuhanan yang tampak pada raja sebagai pusat
kekuasaan dengan kekuatan religius berusaha mempertahankan kewibawaannya
terhadap para datu. Demikian juga nilai-nilai kemasyarakatan dan ekonomi yang
terjalin satu sama lain dengan nilai internasionalisme dalam bentuk hubungan
dagang yang terentang dari pedalaman sampai ke negeri-negeri seberang lautan
pelabuhan kerajaan dan Selat Malaka yang diamankan oleh para nomad laut yang
menjadi bagian dari birokrasi pemerintahan Sriwijaya
3.
Pada masa kerajaan Majapahit, di bawah raja Prabhu Hayam Wuruk dan Apatih
Mangkubumi, Gajah Mada telah berhasil mengintegrasikan nusantara. Faktor-faktor
yang dimanfaatkan untuk menciptakan wawasan nusantara itu adalah: kekuatan
religio magis yang berpusat pada Sang Prabu, ikatan sosial kekeluargaan
terutama antara kerajaan-kerajaan daerah di Jawa dengan Sang Prabu dalam
lembaga Pahom Narandra. Bahkan, pada masa kerajaan ini, istilah Pancasila
dikenali yang terdapat dalam buku Nagarakertagama karangan Prapanca dan buku
Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku tersebut istilah Pancasila di
samping mempunyai arti “berbatu sendi yang lima” (dalam bahasa Sansekerta),
juga mempunyai arti “pelaksanaan kesusilaan yang lima” (Pancasila Krama), yaitu
1. Tidak boleh melakukan kekerasan 2. Tidak boleh mencuri 3. Tidak boleh
berjiwa dengki 4. Tidak boleh berbohong 5. Tidak boleh mabuk minuman keras.
> Pancasila Pra Kemerdekaan
<
Pancasila adalah ideologi dasar bagi Negara Indonesia. Nama ini
terdiri dari dua kata dari bahasa sansekerta. Panca berarti lima dan sila
berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang di
pimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,yang tercantum pada paragraph ke-4
pembukaan UUD 1945.
Ketika Dr.
Radjiman Wediodiningrat, selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), pada tanggal 29 Mei 1945, meminta kepada sidang
untuk mengemukakan dasar (negara) Indonesia merdeka, permintaan itu menimbulkan
rangsangan anamnesis yang memutar kembali ingatan para pendiri bangsa ke
belakang. Hal ini mendorong mereka untuk menggali kekayaan kerohanian,
kepribadian dan wawasan kebangsaan. Begitu lamanya penjajahan di bumi pertiwi
menyebabkan bangsa Indonesia hilang arah dalam menentukan dasar negaranya.
Dengan permintaan Dr. Radjiman inilah, figur-figur negarawan bangsa Indonesia berpikir
keras untuk menemukan kembali jati diri bangsanya. Pada sidang pertama BPUPKI
yang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei - 1 Juni 1945, tampil berturut-turut
untuk berpidato menyampaikan usulannya tentang dasar negara.
Pada tanggal 29
Mei 1945 Mr. Muhammad Yamin mengusulkan calon rumusan dasar negara Indonesia
sebagai berikut:
1) Peri
Kebangsaan.
2) Peri
Kemanusiaan.
3) Peri
Ketuhanan.
4) Peri
Kerakyatan dan,
5) Kesejahteraan
Rakyat.
Selanjutnya Prof. Dr. Soepomo pada tanggal 30
Mei 1945 mengemukakan teori-teori Negara, yaitu:
1) Teori negara
perseorangan (individualis).
2) Paham negara
kelas dan.
3) Paham negara
integralistik.
Kemudian disusul oleh Ir. Soekarno pada
tanggal 1 Juni 1945 yang mengusulkan lima dasar negara yang terdiri dari:
1) Nasionalisme
(kebangsaan Indonesia).
2) Internasionalisme
(peri kemanusiaan).
3) Mufakat
(demokrasi).
4) Kesejahteraan
sosial.
5) Ketuhanan
Yang Maha Esa (Berkebudayaan)
Penemuan
kembali Pancasila sebagai jati diri bangsa terjadi pada sidang pertama BPUPKI
yang dilaksanakan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pada tanggal 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, Ir. Soekarno menyebutkan lima dasar bagi Indonesia
merdeka. Ir. Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, beliau juga
menawarkan kemungkinan lain, apabila ada yang tidak menyukai bilangan lima,
sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila
tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan dapat dikerucutkan
lagi menjadi Eka Sila. Tri Sila meliputi: socio-nationalisme, socio democratie
dan ke-Tuhanan. Sedangkan Eka Sila yang dijelaskan oleh Ir. Soekarno yaitu
“Gotong Royong” karena menurut Ir. Soekarno negara Indonesia yang kita dirikan
haruslah negara gotong royong. Tetapi yang lahir pada tanggal 1 Juni itu adalah
nama Pancasila. Ini bukan merupakan kelemahan Ir. Soekarno, melainkan
merefleksikan keluasan wawasan dan kesiapan berdialog dari seorang negarawan
besar. Faktanya Ir, Soekarno diakhir sejarah terbukti sebagai penggali
Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
Setelah sidang pertama BPUPKI dilaksanakan,
terjadi perdebatan sengit yang disebabkan perbedaan pendapat. Karena apabila
dilihat lebih jauh para anggota BPUPKI terdiri dari elit Nasionalis netral
agama, elit Nasionalis Muslim dan elit Nasionalis Kristen. Elit Nasionalis
Muslim di BPUPKI mengusulkan Islam sebagai dasar Negara, namun dengan kesadaran
yang dalam akhirnya terjadi kompromi politik antara Nasionalis netral agama
dengan Nasionalis Muslim untuk menyepakati Piagam Jakarta (22 Juni 1945) yang
berisi “tujuh kata”: “…dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesepakatan
peniadaan tujuh kata itu dilakukan dengan cepat dan legowo demi kepentingan
nasional oleh elit Muslim: Moh. Hatta; Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Moh. Hasan dan tokoh muslim lainnya. Jadi
elit Muslim sendiri tidak ingin republik yang dibentuk ini merupakan negara
berbasis agama tertentu.
Pada awal kelahirannya, menurut Onghokham dan
Andi Achdian, Pancasila tidak lebih sebagai kontrak sosial. Hal tersebut
ditunjukkan oleh sengitnya perdebatan dan negosiasi di tubuh BPUPKI dan PPKI
ketika menyepakati dasar negara yang kelak digunakan Indonesia merdeka. Inilah
perjalanan The Founding Fathers yang begitu teliti mempertimbangkan berbagai
kemungkinan dan keadaan agar dapat melahirkan dasar negara yang dapat diterima
semua lapisan masyarakat Indonesia.
Ø Pancasila Era Kemerdekaan <
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom
dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral
semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI
menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua
dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan
sekutunya.
Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia
untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Untuk merealisasikan tekad tersebut,
maka pada tanggal 16 Agustus 1945 terjadi perundingan antara golongan muda dan
golongan tua dalam penyusunan teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai
pukul 02.00-04.00 dini hari.
Teks
proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad
Soebardjo di ruang makan Laksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan Imam Bonjol
No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda)
mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno
dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks proklamasi
Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi Proklamasi Kemerdekaan
tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam
Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis 9 pemberontakan melawan
imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara
Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San
Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.
Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh
sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah
terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan
Yang Maha Esa. Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang
hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul
perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh
berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak
sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan
sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang
menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya
adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI. Pancasila pada
saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis
netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir Alisyahbana dkk) dan
nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai
dasar negara.
> Pancasila Era Orde Lama<
Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar
Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut
yaitu mereka yang memenuhi “anjuran” Presiden/ Pemerintah untuk “kembali ke
UndangUndang Dasar 1945” dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam
Jakarta sebagai Dasar Negara. Sedangkan pihak lainnya menyetujui ‘kembali ke
Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan, artinya dengan Pancasila seperti
yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal
18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak
mencapai kuorum keputusan sidang konstituante. Majelis ini menemui jalan buntu
pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan
dengan sebuah Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959,
yang kemudian dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959 dan diumumkan
secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana
Merdeka. Dekrit Presiden tersebut berisi:
1. Pembubaran konstituante.
2. Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku.
3.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Sosialisasi
terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi upaya
selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik.
Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai
satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”. Manifesto politik adalah
materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan
Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Belakangan, materi pidato
tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan
Ketetapan MPRS No. 1/MPRS1960 tentang GBHN. Manifesto politik Republik Indonesia
tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N. Aidit
yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan Negara.
Oleh
karena itu, mereka yang berseberangan paham memilih taktik “gerilya” di dalam
kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan
agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan
politik. Tidak hanya PKI, mereka yang anti komunisme pun sama. Walaupun
kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan
Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara
beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung besar,
bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis
mengkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni”
dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme). Dengan
adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat
itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui
sidang MPRS.
>Pancasila
Era Orde Baru<
Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai
presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri
ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap
Pancasila pun mulai diperbaiki. Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni
1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian
zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain itu,
Presiden Soeharto juga mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekedar
semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang
sekedar dikeramatkan dalam naskah UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan.
Jadi, Pancasila dijadikan sebagai political
force di samping sebagai kekuatan ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan
sebagai dasar negara, maka pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa
Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak
loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan
menyimpang dari Pancasila pasti digagalkan.
Selanjutnya pada tahun 1968 Presiden Soeharto
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam
mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat :
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ p perwakilan
Lima
: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada
tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu
pasalnya tepatnya Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara
negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat
maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan
perundangundangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.
Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan
dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan
kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen
jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia
sebagai suatu negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan
dalam pembukaan UUS 1945”.
Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak
reinforcing oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan
mengagamakan Pancasila. Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga
Presiden Soeharto bicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980.
Intinya Orba tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat
sebagai comparatist ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru
merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak
seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila.
Selanjutnya pada bulan Agustus 1982
Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap
Pancasila sebagai Azas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui
posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Dengan semakin terbukanya informasi
dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990- 17 an yang
secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh
pemerintah Orde Baru. Demikian pula demokrasi semakin santer mengkritik praktek
pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan
manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian
kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei
1998.
>Pancasila
Era Reformasi<
Pancasila yang seharusnya sebagai nilai, dasar
moral etik bagi negara dan aparat pelaksana Negara, dalam kenyataannya
digunakan sebagai alat legitimasi politik. Puncak dari keadaan tersebut
ditandai dengan hancurnya ekonomi nasional, maka timbullah berbagai gerakan
masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa, cendekiawan dan masyarakat sebagai
gerakan moral politik yang menuntut adanya “reformasi” di segala bidang
politik, ekonomi dan hukum .
Saat Orde Baru tumbang, muncul fobia terhadap
Pancasila. Dasar Negara itu untuk sementara waktu seolah dilupakan karena
hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Dasar negara itu berubah menjadi
ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi
maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam
ke benak masyarakat melalui indoktrinasi. Dengan seolah-olah
“dikesampingkannya” Pancasila pada Era Reformasi ini, pada awalnya memang tidak
nampak suatu dampak negatif yang berarti, namun semakin hari dampaknya makin terasa
dan berdampak sangat fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia.
Namun demikian, kesepakatan Pancasila menjadi
dasar Negara Republik Indonesia secara normatif, tercantum dalam ketetapan MPR.
Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 Pasal 1 menyebutkan bahwa “Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan
bernegara”. Ketetapan ini terus dipertahankan, meskipun ketika itu Indonesia
akan menghadapi Amandeman Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia tahun 1945. Selain kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara,
Pancasila pun menjadi sumber hukum yang ditetapkan 19 dalam Ketetapan MPR Nomor
III/MPR/2000 Pasal 1 Ayat (3) yang menyebutkan, “Sumber hukum dasar nasional
adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial
bagi seluruh Rakyat Indonesia, dan batang tubuh UndangUndang Dasar 1945”.
Semakin
memudarnya Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
membuat khawatir berbagai lapisan elemen masyarakat. Oleh sebab itu, sekitar
tahun 2004 Azyumardi Azra menggagas perlunya rejuvenasi Pancasila sebagai
faktor integratif dan salah satu fundamen identitas nasional. Seruan demikian
tampak signifikan karena proses amandeman UUD 1945 saat itu sempat memunculkan
gagasan menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Seruan Azyumardi Azra direspon
sejumlah kalangan. Diskursus tentang Pancasila kembali menghangat dan meluas
usai Simposium
Peringatan
Hari Lahir Pancasila yang diselenggarakan FISIP-UI pada tanggal 31 Mei 2006.
Sekretariat Wapres Republik Indonesia, pada tahun 2008/2009 secara intensif
melakukan diskusi-diskusi untuk merevitalisasi sosialisasi nilai-nilai
Pancasila. Tahun 2009 Dirjen Dikti, juga 20 membentuk Tim Pengkajian Pendidikan
Pancasila di Perguruan Tinggi. Sementara itu, beberapa perguruan tinggi telah
menyelenggarakan kegiatan sejenis, yaitu antara lain: Kongres Pancasila di
Universitas Gadjah Mada, Simposium Nasional Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di
Universitas Pendidikan Indonesia, dan Kongres Pancasila di Universitas Udayana.
Lebih dari itu MPR-RI melakukan kegiatan sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang
dikenal dengan sebutan “Empat Pilar Kebangsaan”, yang terdiri dari: Pancasila,
Undang-Undang Dasar tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka
Tunggal Ika. Akan tetapi, istilah “Empat Pilar Kebangsaan” ini mengandung:
1) linguistic mistake (kesalahan linguistik)
atau dapat pula dikatakan kesalahan terminology.
2) ungkapan tersebut tidak mengacu pada
realitas empiris sebagaimana terkandung dalam ungkapan bahasa, melainkan
mengacu pada suatu pengertian atau ide, ‘berbangsa dan bernegara’ itu
dianalogikan bangunan besar (gedung yang besar).
3)
kesalahan kategori (category mistake), karena secara epistemologis kategori
pengetahuan Pancasila, UndangUndang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika bukanlah merupakan kategori yang sama.
Selain TAP MPR dan berbagai aktivitas untuk
mensosialisasikan kembali Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Secara tegas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan dalam
penjelasan Pasal 2 bahwa: Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum negara adalah sesuai 21 dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai
dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga
setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan
dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut berkorelasi
bahwa Undang-Undang ini penekanannya pada kedudukan Pancasila sebagai dasar
negara. Sudah barang tentu hal tersebut tidak cukup. Pancasila dalam
kedudukannya sebagai pandangan hidup bangsa perlu dihayati dan diamalkan oleh
seluruh komponen bangsa.
Kesadaran ini mulai tumbuh kembali, sehingga
cukup banyak lembaga pemerintah di pusat yang melakukan kegiatan pengkajian
sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Salah satu kebijakan nasional yang sejalan
dengan semangat melestarikan Pancasila di kalangan mahasiswa adalah Pasal 35
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang menyatakan
bahwa Kurikulum Pendidikan Tinggi wajib memuat mata kuliah Agama, Pancasila,
Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia. Makna penting dari kajian historis
Pancasila ini ialah untuk menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Karena itu seluruh komponen bangsa harus secara imperatif kategoris
menghayati dan melaksanakan Pancasila baik sebagai Dasar Negara maupun sebagai
22 Pandangan Hidup Bangsa, dengan berpedoman kepada nilai-nilai Pancasila dan
Pembukaan UUD 1945 dan secara konsisten menaati ketentuan-ketentuan dalam
pasal-pasal UUD 1945.
BAB
3
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pancasila
merupakan dasar Negara Indonesia yang telah melewati berbagai rintangan.
Pancasila merupakan ideology bangsa Indonesia yang tak tergantikan sehingga hal
itu membuat pancasila mejadi muatan tertinggi yang menjadi pedoman dalam
menentukan sebuah aturan hokum. Pancasila harus diamalkan oleh seluruh lapisan
masyarakat dengan penuh tangung jawab dan secara nyata karena itu adalah
panutan untuk bersatunya bangsa Indonesia.
B.
KRITIK DAN SARAN
C.
DAETAR PUSTAKA
http:/info-makalah.blogspot.com/2010/06/makalah-sejarah-pancasila.html
http://jamarisonline.blogspot.com/2011/09/tokoh-tokoh-perumus-lahirnya-dasar.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pancasila
http://jamarisonline.blogspot.com/2011/05/proses-perumusan-pancasila-sebagai.html